Bagi masyarakat pesantren, Kiai Wahab Hasbullah
dikenal luas sebagai figur ulama kontroversial karena ijtihad politiknya
yang kerap berseberangan dengan formalisme fikih para ulama NU. Namun
hal itu diterima secara luas, mengingat pengetahuan keagamaan kiai itu
sangat mendalam dan memiliki instink politik yang tinggi. Tetapi siapa
kira Kiai Wahab juga sebenarnya adalah ulama yang digdaya dalam ilmu
silat. Tidak hanya silat kanuragan tetapi juga jago dalam silat lidah
dalam arti beretorika bahkan ketika menggunakan bahasa Arab,
kemampuannnya juga tinggi.
Dalam kesaksian seorang santri yang sempat
menimba ilmu di kota suci Mekkah sekitar tahun 1930-an, saat itu kota
Hijaz belum stabil akibat revolusi Wahabi dan ulama-ulama Indonesia
sendiri sedang sibuk menagkis gerakan puritanisme kaum modernis itu.
Dalam situasi begitu Kiai Wahab datang ke kota suci itu, tujuannya
adalah untuk memberikan semangat kepada para pelajar Islam Nusantara
agar tetap berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama`ah
sebagaimana yang diwariskan oleh para ulama sebelumnya.
Ketika tiba di kota Mekkah, beberapa santri
Indonesia yang sudah mengenalnya berusaha menemui Kiai kharismatik dari
Nusantara itu. Setelah pertemuan tersebut mereka pun segera mengumpulkan
para pelajar Nusantara (termasuk pelajar dari negeri jiran seperti
pelajar Malaysia, Filipina dan Thailand) khusus untuk memberikan waktu
Kiai Wahab menyampaikan maksudnya.
Singkat cerita, para pelajar pun dapat
dikumpulkan dalam sebuah majlis. Setelah menunggu beberapa lama Kiai
Wahab pun muncul. Akan tetapi ketika Kiai Wahab muncul di tengah-tengah
para hadirin, sebagian besar pelajar yang belum mengenal Kiai Wahab
tidak menaruh perhatian. Bahkan sebagian ada yang meremehkan. Pasalnya,
pakaian Kiai nyentrik ini sangat sederhana, hanya menggunakan setelan
kopiah hitam, jas dan sarung sama sekali tidak menunjukkan penampilan
seorang ulama, tidak seperti pakaian para syeikh Arab yang menggunakan
surban tebal dan jubah keulamaan.
Namun setelah Kiai Wahab membuka pembicaraan,
pandangan para pelajar pun kemudian berubah seratus delapanpuluh
derajat. Kefasihan lidah, kekuatan hujjah serta keindahan
retorika yang disampaikan dalam berbahasa Arab sangat memukau para
pelajar yang hadir. Di luar sangkaan mereka, ternyata ulama Indonesia
yang berpenampilan sederhana tidak kalah fasih dan canggih dengan para
syeikh Arab dalam beretorika. Hal itu bisa dipahami, karena selain
belajar dengan para syek di Mekah Kiai Wahab juga belajar ilmu alat,
mantiq dan retorika dari para ulama Nusantara terkemuka, Kiai Zainuddin
Mojosari, Kiai Cholil Bangkalan dan sebagainya.
Akhirnya, semua pelajar yang semula meremehkan
Kiai Wahab kemudian berbalik mengelu-elukan serta memperlakukannya
dengan penuh hormat. Mereka juga tak segan-segan bertanya segala hal
tentang perkembangan dunia Islam Nusantara yang saat itu masih berada di
bawah kendali para penguasa kolonial Hindia-Belanda.(Rifqil
Halim Muhammad)
Dikutip dari situs resmi Nahdlotul Ulama www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda adalah ruh dari blog ini, akan sangat kami hargai jika anda berkenan mencantumkan nama dan alamat email Terima kasih